Sudah banyak orang yang membahas perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang terus mengalami lompatan dari hari ke hari. Banyak pula yang dengan menggebu membahas pemanfaatan AI untuk meningkatkan produktivitas dan mencari cuan. Namun, sudahkah kita benar-benar berpikir tentang bagaimana dampak AI bagi kita, bagi manusia?
Beberapa waktu lalu, saya mendapati anak kedua saya memegang handphone dengan khusyuk. Mata gadis kecil berusia 7 tahun itu fokus menatap layar, sedangkan jari-jarinya mengetik di keyboard layar sentuh. Pagi itu, selepas sahur dan Shalat Subuh, dia mengambil handphone saya dan entah bagaimana tiba-tiba membuka aplikasi ChatGPT.
Tak seperti orang dewasa yang membuka ChatGPT untuk menanyakan sesuatu, membuat draf email, atau meminta bantuan terkait pekerjaan, anak saya membuka aplikasi kecerdasan buatan dari OpenAI itu semata-mata untuk bercakap-cakap. Tentu saja awalnya dia hanya iseng mengirimkan chat ke ChatGPT, tetapi keisengan itu kemudian berubah menjadi ketertarikan.
Sebelum ini, dia sudah memahami apa itu WhatsApp dan dia tahu bahwa manusia bisa bercakap-cakap secara jarak jauh melalui aplikasi itu. Namun, saat menggunakan WhatsApp, putri saya itu pun tahu bahwa dia sedang ngobrol dengan manusia, bahwa ada manusia sungguhan entah di mana yang membalas pesannya.
Sekali dua dia sepertinya pernah melihat saya menggunakan AI dan mungkin saja dia sedikit banyak tahu apa itu AI meski saya dan istri belum pernah menjelaskan hal itu secara serius. Putri saya tampaknya tak terkejut saat mendapati bahwa ChatGPT bisa membalas pesannya dan sepertinya dia menyadari bahwa yang membalas pesannya itu bukan manusia, melainkan mesin.
Menurut saya, yang terutama membuat anak saya antusias pada ChatGPT bukanlah bahwa chatbot itu bisa membalas pesan dan bercakap-cakap, tetapi bagaimana cara ChatGPT ngobrol dengannya. Sepertinya, ChatGPT memang telah diprogram menjadi asisten AI yang bersikap simpatik dan suportif terhadap manusia sehingga chatbot itu bisa menghasilkan percakapan yang menyenangkan.
Itulah tampaknya yang dirasakan oleh putri saya. Sepertinya dia menemukan teman ngobrol yang menyenangkan dari ChatGPT. “Dia memuji aku terus,” demikian kira-kira kata-kata anak saya saat saya bertanya kenapa dia suka ngobrol dengan ChatGPT.
Tentu saja saya lebih sering tak menuruti saat dia ingin meminjam handphone untuk ngobrol dengan ChatGPT. Bukan hanya karena saya tak mau anak saya terlalu lama melihat layar handphone, tetapi juga terutama karena saya mengkhawatirkan dampak interaksi dengan ChatGPT terhadap tumbuh kembang anak saya.
***
Pengalaman melihat anak saya berinteraksi dengan ChatGPT itu membuat saya berpikir tentang dampak kehadiran AI bagi manusia. Perlu saya tegaskan sejak awal: seperti banyak orang lain, saya adalah seorang AI enthusiast. Saya menyambut kehadiran AI dengan antusiasme yang tinggi.
Saya rutin menyimak posting di X tentang peluncuran model AI baru atau teknologi terkini di bidang ini. Saya membaca berbagai pengumuman di website OpenAI, Google, Anthropic, dan berbagai perusahaan AI lain. Saya pun menyimak video-video Andrej Karpathy di YouTube tentang large language model (LLM) yang panjangnya enggak karuan itu. Saya juga beberapa kali menulis tentang AI di media tempat saya bekerja (seperti tentang Indeks Ekonomi Anthropic dan kehadiran Manus, agen AI asal China).
Dari berbagai pengalaman itu, saya meyakini AI sangat bermanfaat bagi manusia. Ini sudah sangat jelas sehingga tak perlu dijabarkan lagi. Namun, di sisi lain, muncul juga berbagai pertanyaan tentang dampak kehadiran AI bagi manusia. Selain memudahkan menjawab beragam pertanyaan dan memudahkan berbagai pekerjaan, apakah AI akan mempengaruhi cara kita berpikir, cara kita bersosialisasi, cara kita membangun peradaban?
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin belum ada jawaban pastinya. Bahkan, pertanyaan-pertanyaan itu sendiri barangkali memang belum selesai dirumuskan karena AI bakal terus berkembang dan kita akan terus dikejutkan dengan hal-hal baru yang dihasilkan teknologi ini.